Dalam
arti luas, migrasi merupakan perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi
permanen (Tjiptoherijanto, 1999). Dalam pengertian yang demikian tersebut tidak
ada pembatasan baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, serta tidak dibedakan
antara migrasi dalam negeri dengan migrasi luar negeri (Lee, 1991). Sejarah
kehidupan suatu bangsa selalu diwarnai dengan adanya migrasi, dan oleh karena
itu pula terjadi proses pencampuran darah dan kebudayaan.
Teori
migrasi mula-mula diperkenalkan oleh Ravenstein (1885) dan kemudian digunakan
sebagai dasar kajian bagi peneliti lainnya (Lee,1966; Zelinsky,1971 dalam
wirawan, 2006). Kedua peneliti mengatakan bahwa motif utama yang menyebabkan
seseorang melakukan migrasi adalah alasan ekonomi. Mantra, (1999) menyebutkan
bahwa beberapa teori yang mengungkapkan mengapa orang melakukan mobilitas,
diantaranya adalah teori kebutuhan dan stres. Setiap individu mempunyai
beberapa macam kebutuhan ekonomi, sosial, budaya, dan psikologis. Semakin besar
kebutuhan tidak dapat terpenuhi, semakin besar stres yang dialami. Apabila
stres sudah melebihi batas, maka seseorang akan berpindah ke tempat lain yang
mempunyai nilai kefaedahan terhadap pemenuhan kebutuhannya. Perkembangan teori
migrasi demikian dikenal dengan model stress-treshold atau place-utility.
Model ini bertitik tolak pada konsep yang juga digunakan Keban (1994) dan
Susilowati (1998;2001).
Selain
itu, konsep teori pilihan sebagaimana dikemukakan Becker (1968) juga digunakan
untuk mengetahui motivasi seseorang dalam memutuskan bekerja di luar negeri.
Dalam hal demikian, individu dianggap sebagai makhluk sosial rasional dalam
menentukan pilihan. Umumnya individu akan menerapkan konsep prinsip ekonomi
dalam usaha memilih beberapa alternatif terbaik dan memberikan manfaat terbesar
dan kerugian atau risiko yang terkecil. Jika dikaitkan dengan teori di atas
maka para migran dapat digolongkan sebagai individu rasional dalam kepergiannya
untuk bekerja di luar negeri. Hal ini dikarenakan alasan faktor ekonomis seperti:
mencari pekerjaan, meningkatkan pendapatan, dan kemudahan lain serta berbagai
alasan non-ekonomis lainnya misalnya aspek sosial, budaya, politik, keamanan,
dan psikologi. Selain model tersebut, terdapat model yang dikembangkan oleh
Speare (1975). Migrasi tenaga kerja juga dipengaruhi oleh faktor struktural
seperti karakteristik sosio-demografis, tingkat kepuasan terhadap tempat
tinggal, kondisi geografis daerah asal dan karakteristik komunitas.
Pada
umumnya adanya ketidakpuasan pada latar belakang yang berdimensi struktural
mempengaruhi seseorang melakukan migrasi. Daerah yang lahan pertaniannya tandus
umumnya masyarakatnya mencari pekerjaan ke daerah lain yang lebih subur atau
banyak peluang ekonominya khususnya pada sektor non-pertanian misalnya industri,
perdagangan, dan jasa. Dalam cakupan yang lebih luas, masyarakat atau tenaga
kerja pada suatu negara akan melakukan migrasi ke negara lain yang
perekonomiannya lebih baik yang mampu menawarkan peluang kesempatan kerja
dengan penghasilan yang lebih baik. Teori pengambilan keputusan bermigrasi di
tingkat individu dari perspektif geografi yang berpengaruh kuat dalam
analisis-analisis migrasi pada era 1970-an hingga menjelang awal tahun 1990 an,
adalah teori yang diajukan oleh Everett S. Lee (1970). Berdasarkan teori
migrasi Lee, factor terpenting setiap individu dalam melakukan migrasi adalah
faktor individu itu sendiri. Faktor individu memberikan penilaian apakah suatu
daerah dapat memenuhi kebutuhannya atau tidak. Rintangan antara dapat berupa
biaya pindah yang tinggi, topografi daerah dan juga sarana transportasi.
0 komentar:
Posting Komentar