Sabtu, 04 Februari 2012

Teori Migrasi


Dalam arti luas, migrasi merupakan perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen (Tjiptoherijanto, 1999). Dalam pengertian yang demikian tersebut tidak ada pembatasan baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, serta tidak dibedakan antara migrasi dalam negeri dengan migrasi luar negeri (Lee, 1991). Sejarah kehidupan suatu bangsa selalu diwarnai dengan adanya migrasi, dan oleh karena itu pula terjadi proses pencampuran darah dan kebudayaan.
Teori migrasi mula-mula diperkenalkan oleh Ravenstein (1885) dan kemudian digunakan sebagai dasar kajian bagi peneliti lainnya (Lee,1966; Zelinsky,1971 dalam wirawan, 2006). Kedua peneliti mengatakan bahwa motif utama yang menyebabkan seseorang melakukan migrasi adalah alasan ekonomi. Mantra, (1999) menyebutkan bahwa beberapa teori yang mengungkapkan mengapa orang melakukan mobilitas, diantaranya adalah teori kebutuhan dan stres. Setiap individu mempunyai beberapa macam kebutuhan ekonomi, sosial, budaya, dan psikologis. Semakin besar kebutuhan tidak dapat terpenuhi, semakin besar stres yang dialami. Apabila stres sudah melebihi batas, maka seseorang akan berpindah ke tempat lain yang mempunyai nilai kefaedahan terhadap pemenuhan kebutuhannya. Perkembangan teori migrasi demikian dikenal dengan model stress-treshold atau place-utility. Model ini bertitik tolak pada konsep yang juga digunakan Keban (1994) dan Susilowati (1998;2001).
Selain itu, konsep teori pilihan sebagaimana dikemukakan Becker (1968) juga digunakan untuk mengetahui motivasi seseorang dalam memutuskan bekerja di luar negeri. Dalam hal demikian, individu dianggap sebagai makhluk sosial rasional dalam menentukan pilihan. Umumnya individu akan menerapkan konsep prinsip ekonomi dalam usaha memilih beberapa alternatif terbaik dan memberikan manfaat terbesar dan kerugian atau risiko yang terkecil. Jika dikaitkan dengan teori di atas maka para migran dapat digolongkan sebagai individu rasional dalam kepergiannya untuk bekerja di luar negeri. Hal ini dikarenakan alasan faktor ekonomis seperti: mencari pekerjaan, meningkatkan pendapatan, dan kemudahan lain serta berbagai alasan non-ekonomis lainnya misalnya aspek sosial, budaya, politik, keamanan, dan psikologi. Selain model tersebut, terdapat model yang dikembangkan oleh Speare (1975). Migrasi tenaga kerja juga dipengaruhi oleh faktor struktural seperti karakteristik sosio-demografis, tingkat kepuasan terhadap tempat tinggal, kondisi geografis daerah asal dan karakteristik komunitas.
Pada umumnya adanya ketidakpuasan pada latar belakang yang berdimensi struktural mempengaruhi seseorang melakukan migrasi. Daerah yang lahan pertaniannya tandus umumnya masyarakatnya mencari pekerjaan ke daerah lain yang lebih subur atau banyak peluang ekonominya khususnya pada sektor non-pertanian misalnya industri, perdagangan, dan jasa. Dalam cakupan yang lebih luas, masyarakat atau tenaga kerja pada suatu negara akan melakukan migrasi ke negara lain yang perekonomiannya lebih baik yang mampu menawarkan peluang kesempatan kerja dengan penghasilan yang lebih baik. Teori pengambilan keputusan bermigrasi di tingkat individu dari perspektif geografi yang berpengaruh kuat dalam analisis-analisis migrasi pada era 1970-an hingga menjelang awal tahun 1990 an, adalah teori yang diajukan oleh Everett S. Lee (1970). Berdasarkan teori migrasi Lee, factor terpenting setiap individu dalam melakukan migrasi adalah faktor individu itu sendiri. Faktor individu memberikan penilaian apakah suatu daerah dapat memenuhi kebutuhannya atau tidak. Rintangan antara dapat berupa biaya pindah yang tinggi, topografi daerah dan juga sarana transportasi.

0 komentar:

Posting Komentar