Lahirnya
filsafat sebagai suatu sistem pemikiran tersendiri yang khas tidak bisa lepas
dari apa yang terjadi di Yunani pada 600 SM yakni awal ditinggalkannya
pemikiran mitologis oleh masyarakat Yunani,
digantikan oleh cara pemikiran yang lebih rasional dan argumentatif.
Filsafat berasal dari kata Yunani: filos (cinta) dan sophos
(pengetahuan atau kebijaksanaan). Pada hakikatnya filsafat merupakan sebuah
usaha berpikir secara rasional (bernalar), sistematik (runtut), radikal
(mendalam), komprehensif (menyeluruh), dan universal (objektif /
intersubjektif) tentang segala sesuatu. Berbeda dengan pemikiran mitologis yang
cenderung irrasional, kontradiktif, terfragmentasi dan subjektif.
Filsafat bersifat rasional artinya
didasarkan pada penalaran dan argumentasi berdasarkan akal sehat. Penjelasan
yang dikeluarkan terbuka bagi perdebatan dan boleh diuji oleh siapa pun guna
menemukan kebenaran yang mungkin sebelumnya tidak tampak. Sistematik artinya
didasarkan atas keruntutan dalam satu alur pola pikir tertentu, merupakan
sebuah kebulatan sistem pikir yang di dalamnya dihindari adanya kontradiksi
internal. Radikal artinya berpikir sampai sedalam-dalamnya, sampai kepada
akar-akarnya (radix: akar), sampai pada penjelasan yang tidak memerlukan
penjelasan lagi. Komprehensif artinya meninjau secara menyeluruh, dari berbagai
sudut pandang, dan dari berbagai sisi. Universal artinya berlaku umum, terbebas
dari ruang, dan waktu.
Objek
kajian filsafat bersifat abstrak artinya mempelajari yang berada di balik hal-hal fisik guna menemukan
landasan yang bersifat metafisik, contohnya sebelum terlahir ilmu kedokteran,
diperlukan penjelasan apakah yang dinamakan penyakit itu? Seorang filsuf
yang bernama Hipokrates menjelaskan bahwa penyakit adalah gangguan kesehatan
manusia yang disebabkan oleh unsur-unsur yang bersifat materi. Keyakinan bahwa
ada sebab materi dalam setiap penyakit, dan bukannya sebab yang lain, merupakan
landasan metafisik untuk timbulnya pemikiran tentang obat dan penyembuhan
terhadap penyakit. Dari sinilah lahir ilmu dan praktek kedokteran. Tentu
hasilnya akan lain seandainya penjelasan tentang penyakit dipahami sebagai
“sebuah kutukan”, maka tidak akan lahir ilmu kedokteran.
Begitu
pula halnya sebelum lahir ilmu hukum yang mengandaikan pembahasan tentang apa
dan siapakah manusia, sebelum kemudian dapat dirumuskan sanksi yang
seadil-adilnya bagi sebuah peristiwa hukum. Corak hukum suatu negara yang
berbeda dengan negara lain disebabkan oleh adanya perbedaan dalam pemahaman
filosofis akan hakikat manusia.
Filsafat sebagai sistem berpikir
tersendiri biasanya disebut sebagai “mother of science”, ibu dari segala
ilmu. Untuk lebih jelasnya perkembangan pengertian filsafat dapat dirunut dari
penjelasan yang dikemukakan oleh beberapa filosof dan kelompok filosof (Lechte, 2001) sebagai berikut:
a. Pythagoras (580-500 SM)
Orang pertama kali yang
mengemukakan istilah “filsafat”. Sebagai orang yang memiliki kecerdasan
matematik luar biasa, Pythagoras hanya mengaku sebagai “pencinta pengetahuan”
(philos=cinta, shopia= pengetahuan). Sebagai seorang yang dikenal cerdik
pandai, Pythagoras tidak menyombongkan diri dengan mengaku-ngaku memiliki
pengetahuan meskipun sebenarnya
pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya tidak diragukan lagi.
b. Socrates (468-399 SM)
Socrates dijuluki sebagai
Bapak Filsafat karena dialah guru dari Plato, sedangkan Plato merupakan guru
Aristoteles. Socrates, Plato dan Aristoteles adalah trio filsuf besar Yunani kuno yang pengaruhnya terasa sampai
sekarang. Socrates memandang pengetahuan tidak semata-mata bersifat subjektif
dan relatif, melainkan sebetulnya ada suatu pengetahuan yang objektif dan tetap
bila kita dapat menemukannya. Filsafat membantu manusia untuk menemukan
pengetahuan yang objektif.
c. Plato (427-347 SM)
Berfilsafat sama artinya
dengan membuka kembali tabir pengetahuan sejati, abadi dan tak berubah-ubah,
suatu pengetahuan yang berasal dari “dunia ide”, yang telah tertutupi oleh
“dunia maya” yang serba berubah dan tidak abadi dari alam ini. Plato membedakan
antara pengetahuan sejati dan pengetahuan yang semu. Keberadaan filsafat adalah
untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan sejati yang bekerja di balik alam ini.
d. Aristoteles (384-322 SM)
Aristoteles dikenal
sebagai Bapak Logika. Berfilsafat menurutnya adalah menemukan pengetahuan
yang benar dengan berpijak pada pengamatan terhadap alam ini, bukan berpijak
pada ‘alam lain’ sebagaimana halnya Plato. Dengan filsafat, seseorang dapat
membedakan pengetahuan yang mendasar (substansial, pokok) dari yang penampakan
(aksidensial, hanya kebetulan).
e. Al Kindi (801-865)
Filosof Islam pertama dan seorang ahli di bidang kedokteran, matematika,
penggubah lagu, dan astronomi. Filsafat dipandang tidak bertentangan dengan Al
Qur’an, justru melengkapinya. Menurutnya terdapat dua jenis pengetahuan:
pengetahuan ilahiyah (sumbernya wahyu) dan pengetahuan insaniyah (sumbernya
akal pikiran).
f. Descartes (1596-1650)
Ahli geometri dan penemu
diagram cartesius ini dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern.
Filsafat dimulai dengan meragukan segala sesuatu sampai kemudian memperoleh
pengetahuan yang kokoh, yang tidak dapat diragukan lagi, bahkan sampai akhirnya
berakhir pada pengakuan adanya Tuhan.
g. Immanuel Kant (1724-1804)
Pemahaman kita tentang sesuatu dapat dibagi noumena dan fenomena. Noumena
adalah hal yang terus mendasar tentang sesuatu, sedangkan fenomena adalah
penampakan mula dari sesuatu. Berfilsafat adalah menyingkap noumena. Meskipun
kita tidak akan pernah sampai ke dalam noumena yang paling purna, namun kita
tidak boleh terjebak oleh fenomena. Berfilsafat juga bagaimana menemukan suatu
pengetahuan yang “sintesis a priori”, sebagai perpaduan antara pemikiran
rasional (analisis- a priori) dengan empiris (sintesis- a posteriori).
Pengetahuan sintesis a priori akan
mengandung pengetahuan informasi baru yang memiliki tingkat kebenaran
universal.
h. Kelompok filosof pragmatisme
Filsafat harus berpijak pada fakta dan kegunaan riil. Nilai benar suatu
pengetahuan ditentukan sejauh mana manfaatnya bagi manusia. Tidak ada kebenaran
umum, melainkan semua memiliki potensi untuk benar meskipun berbeda-beda.
i.
Kelompok
filosof postmodernisme
Postmodernisme mengakui
pluralitas sebagai realitas. Banyaknya penjelasan (bukan hanya tunggal) yang
mungkin berbeda atau bahkan bertentangan satu sama lain, dapat diterima sebagai
penjelasan yang benar atau kemungkinan benar.
Filsafat mengajak untuk berpikir
secara kritis dan mendalam tentang segala sesuatu. Pengetahuan yang terbentang
dalam masyarakat dan kebudayaan dari zaman purba, kuno, sampai modern belumlah
menjamin akan kebenarannya. Pengetahuan-pengetahuan tersebut masih harus
senantiasa dipertanyakan kembali. Kita tidak boleh menerima pengetahuan begitu
saja tanpa pemahaman yang jelas akan sumber-sumber, metodologi, batas-batas
kewenangan, dan pembenaran dari suatu pengetahuan.
0 komentar:
Posting Komentar