Kamis, 09 Februari 2012

Pengertian Filsafat



Lahirnya filsafat sebagai suatu sistem pemikiran tersendiri yang khas tidak bisa lepas dari apa yang terjadi di Yunani pada 600 SM yakni awal ditinggalkannya pemikiran mitologis oleh masyarakat Yunani,  digantikan oleh cara pemikiran yang lebih rasional dan argumentatif. Filsafat berasal dari kata Yunani: filos (cinta) dan sophos (pengetahuan atau kebijaksanaan). Pada hakikatnya filsafat merupakan sebuah usaha berpikir secara rasional (bernalar), sistematik (runtut), radikal (mendalam), komprehensif (menyeluruh), dan universal (objektif / intersubjektif) tentang segala sesuatu. Berbeda dengan pemikiran mitologis yang cenderung irrasional, kontradiktif, terfragmentasi dan  subjektif.
            Filsafat bersifat rasional artinya didasarkan pada penalaran dan argumentasi berdasarkan akal sehat. Penjelasan yang dikeluarkan terbuka bagi perdebatan dan boleh diuji oleh siapa pun guna menemukan kebenaran yang mungkin sebelumnya tidak tampak. Sistematik artinya didasarkan atas keruntutan dalam satu alur pola pikir tertentu, merupakan sebuah kebulatan sistem pikir yang di dalamnya dihindari adanya kontradiksi internal. Radikal artinya berpikir sampai sedalam-dalamnya, sampai kepada akar-akarnya (radix: akar), sampai pada penjelasan yang tidak memerlukan penjelasan lagi. Komprehensif artinya meninjau secara menyeluruh, dari berbagai sudut pandang, dan dari berbagai sisi. Universal artinya berlaku umum, terbebas dari ruang, dan waktu.
Objek kajian filsafat bersifat abstrak artinya mempelajari yang  berada di balik hal-hal fisik guna menemukan landasan yang bersifat metafisik, contohnya sebelum terlahir ilmu kedokteran, diperlukan penjelasan apakah yang dinamakan penyakit itu? Seorang filsuf yang bernama Hipokrates menjelaskan bahwa penyakit adalah gangguan kesehatan manusia yang disebabkan oleh unsur-unsur yang bersifat materi. Keyakinan bahwa ada sebab materi dalam setiap penyakit, dan bukannya sebab yang lain, merupakan landasan metafisik untuk timbulnya pemikiran tentang obat dan penyembuhan terhadap penyakit. Dari sinilah lahir ilmu dan praktek kedokteran. Tentu hasilnya akan lain seandainya penjelasan tentang penyakit dipahami sebagai “sebuah kutukan”, maka tidak akan lahir ilmu kedokteran.
Begitu pula halnya sebelum lahir ilmu hukum yang mengandaikan pembahasan tentang apa dan siapakah manusia, sebelum kemudian dapat dirumuskan sanksi yang seadil-adilnya bagi sebuah peristiwa hukum. Corak hukum suatu negara yang berbeda dengan negara lain disebabkan oleh adanya perbedaan dalam pemahaman filosofis akan hakikat manusia.
            Filsafat sebagai sistem berpikir tersendiri biasanya disebut sebagai “mother of science”, ibu dari segala ilmu. Untuk lebih jelasnya perkembangan pengertian filsafat dapat dirunut dari penjelasan yang dikemukakan oleh beberapa filosof dan kelompok filosof  (Lechte, 2001) sebagai berikut:
a.       Pythagoras (580-500 SM)
Orang pertama kali yang mengemukakan istilah “filsafat”. Sebagai orang yang memiliki kecerdasan matematik luar biasa, Pythagoras hanya mengaku sebagai “pencinta pengetahuan” (philos=cinta, shopia= pengetahuan). Sebagai seorang yang dikenal cerdik pandai, Pythagoras tidak menyombongkan diri dengan mengaku-ngaku memiliki pengetahuan  meskipun sebenarnya pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya tidak diragukan lagi.
b.      Socrates (468-399 SM)
Socrates dijuluki sebagai Bapak Filsafat karena dialah guru dari Plato, sedangkan Plato merupakan guru Aristoteles. Socrates, Plato dan Aristoteles adalah trio filsuf besar  Yunani kuno yang pengaruhnya terasa sampai sekarang. Socrates memandang pengetahuan tidak semata-mata bersifat subjektif dan relatif, melainkan sebetulnya ada suatu pengetahuan yang objektif dan tetap bila kita dapat menemukannya. Filsafat membantu manusia untuk menemukan pengetahuan yang objektif.
c.       Plato (427-347 SM)
Berfilsafat sama artinya dengan membuka kembali tabir pengetahuan sejati, abadi dan tak berubah-ubah, suatu pengetahuan yang berasal dari “dunia ide”, yang telah tertutupi oleh “dunia maya” yang serba berubah dan tidak abadi dari alam ini. Plato membedakan antara pengetahuan sejati dan pengetahuan yang semu. Keberadaan filsafat adalah untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan sejati yang bekerja di balik alam ini.
d.      Aristoteles (384-322 SM)
Aristoteles dikenal sebagai Bapak Logika. Berfilsafat menurutnya adalah menemukan pengetahuan yang benar dengan berpijak pada pengamatan terhadap alam ini, bukan berpijak pada ‘alam lain’ sebagaimana halnya Plato. Dengan filsafat, seseorang dapat membedakan pengetahuan yang mendasar (substansial, pokok) dari yang penampakan (aksidensial, hanya kebetulan).
e.       Al Kindi (801-865)
Filosof Islam pertama dan seorang ahli di bidang kedokteran, matematika, penggubah lagu, dan astronomi. Filsafat dipandang tidak bertentangan dengan Al Qur’an, justru melengkapinya. Menurutnya terdapat dua jenis pengetahuan: pengetahuan ilahiyah (sumbernya wahyu) dan pengetahuan insaniyah (sumbernya akal pikiran).
f.       Descartes (1596-1650)
Ahli geometri dan penemu diagram cartesius ini dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern. Filsafat dimulai dengan meragukan segala sesuatu sampai kemudian memperoleh pengetahuan yang kokoh, yang tidak dapat diragukan lagi, bahkan sampai akhirnya berakhir pada pengakuan adanya Tuhan.
g.      Immanuel Kant (1724-1804)
Pemahaman kita tentang sesuatu dapat dibagi noumena dan fenomena. Noumena adalah hal yang terus mendasar tentang sesuatu, sedangkan fenomena adalah penampakan mula dari sesuatu. Berfilsafat adalah menyingkap noumena. Meskipun kita tidak akan pernah sampai ke dalam noumena yang paling purna, namun kita tidak boleh terjebak oleh fenomena. Berfilsafat juga bagaimana menemukan suatu pengetahuan yang “sintesis a priori”, sebagai perpaduan antara pemikiran rasional (analisis- a priori) dengan empiris (sintesis- a posteriori). Pengetahuan  sintesis a priori akan mengandung pengetahuan informasi baru yang memiliki tingkat kebenaran universal.
h.      Kelompok filosof  pragmatisme
Filsafat harus berpijak pada fakta dan kegunaan riil. Nilai benar suatu pengetahuan ditentukan sejauh mana manfaatnya bagi manusia. Tidak ada kebenaran umum, melainkan semua memiliki potensi untuk benar meskipun berbeda-beda. 
i.        Kelompok filosof  postmodernisme
Postmodernisme mengakui pluralitas sebagai realitas. Banyaknya penjelasan (bukan hanya tunggal) yang mungkin berbeda atau bahkan bertentangan satu sama lain, dapat diterima sebagai penjelasan yang benar atau kemungkinan benar.
Filsafat mengajak untuk berpikir secara kritis dan mendalam tentang segala sesuatu. Pengetahuan yang terbentang dalam masyarakat dan kebudayaan dari zaman purba, kuno, sampai modern belumlah menjamin akan kebenarannya. Pengetahuan-pengetahuan tersebut masih harus senantiasa dipertanyakan kembali. Kita tidak boleh menerima pengetahuan begitu saja tanpa pemahaman yang jelas akan sumber-sumber, metodologi, batas-batas kewenangan, dan pembenaran dari suatu pengetahuan.

0 komentar:

Posting Komentar